Keberanian kecil mulai langkah yang besar
Meski diriku gemetar dan ketakutan, tapi...
Aku ingin menjadi gadis!
Tentu saja boleh, ‘kan?
Begitulah potongan sulih lirik Onna no Ko ni Naritai oleh Gicchi. Gicchi sendiri merupakan penyanyi dan pengisi suara di platform YouTube, atau setidaknya itu yang ditulis di kanalnya. Beliau memang perempuan, berbeda dengan Mafumafu (まふまふ) yang merupakan penyanyi asli dari lagunya dan seorang laki-laki.
Dengan dinyanyikan oleh seorang penyanyi pria, tentu saja liriknya menjadi sangat relevan dengan penyairnya. Video musiknya seakan benar-benar meneriakkan energi yang berbunyi "aku ingin menjadi gadis!", penuh dengan pernak-pernik yang secara stereotipikal menggambarkan tuan putri yang ada di cerita-cerita Disney. Ketika artikel ini ditulis, saya tidak tahu apakah lagu ini merupakan curahan hati dari penyanyinya secara pribadi, dan saya tidak akan secara aktif untuk mencaritahunya juga. Terlepas dari itu, lagu dan video beliau sangat bagus, atau setidaknya menurut saya.
Internet dan Guyonannya
Tidak heran jika lagu ini, terutama video musiknya, sangat relatable bagi beberapa pengguna internet yang melihatnya. Kerabat-kerabat saya di Discord, Facebook, dan Twitter membagikan video ini ke sana-sini saat sedang ramai dibicarakan beberapa bulan lalu. Tentu saja meme-meme yang relevan dengannya juga bertebaran di linimasa, seringkali diiringi caption yang menyatakan dirinya vibing dengan video tersebut seperti "gwe" atau "adalah btul".
Spektrum tren yang dihasilkan dari Onna no Ko ni naritai ini bervariatif, dan relatif berumur panjang karena jika anda membagikan post atau meme yang berkaitan tentang itu di linimasa anda, hal itu akan tetap relevan bagi beberapa orang. Dari yang membagikan secara ironis atau tidak, oh atau ada juga yang post-ironic sampai-sampai saya dan beberapa orang tidak tahu apa maksud dari mereka yang membagikannya, sampai yang membuat meme dan parodi yang benar-benar menyatu dengan budaya atau tren lain, misalnya "Aku Ingin Menjadi Penghoetank Handal" yang juga merupakan kritik politik dalam meme.
Kepercayaan
Di antara semuanya, yang menarik perhatian saya adalah bagaimana saya, dan beberapa teman serta orang di Internet yang notabene merupakan laki-laki; atau setidaknya masih. Sangat langka, atau mungkin tidak ada post yang saya temui menolak keberadaan lagu dan video ini. Post-post yang mendekati itu pun tidak benar-benar menolak, dan melainkan membahas hal-hal yang kurang lebih relevan namun kurang dijamah oleh banyak khalayak seperti ide bahwa video ini membawa nilai-nilai LGBT atau pernyataan seperti "kalau ketahuan emak kena gampar lah gue."
Selain menunjukkan bahwa tak jarang orang yang membahas suatu topik secara serius (dalam artian benar-benar membahas secara keseluruhan, unironic, atau bahkan keduanya) di antara semua candaan, post-post tersebut (yang sayang sekali tidak saya simpan karena sudah lama juga saya temui) mencerminkan bahwa sampai detik ini kita masih memikirkan budaya atau kepercayaan kita sendiri serta budaya masuk yang mungkin berlawanan dengan milik beberapa di antara kita. Wajar jika beberapa di antara kita berpikir untuk menjadi seorang perempuan adalah perbuatan tercela ketika terlahir sebagai laki-laki, dan di sisi lain ada juga yang berpikir bahwa kebebasan dalam mengatur hal tersebut adalah hak bagi setiap orang. Oh, tentu saja diskusi serius tersebut juga mengundang respons serius juga, dan kadang berakhir runyam.
Di akhir hari, saya sendiri tidak punya masalah dengan keduanya, jika seseorang bertanya pada siapa saya akan memihak, saya tidak akan menjawab 'tidak keduanya' atau 'keduanya', melainkan siapapun yang memperjuangkan apa yang mereka percayai selama tidak menyakiti saya, dirinya, dan orang lain. Mau kamu cowok-cowok besok jadi Hatsune Miku atau Joseph Joestar, selama kalian tidak membuka lahan untuk sawit, silahkan saja; saya tidak akan menghalangi, meski mungkin beberapa orang memiliki pendapat yang berbeda dengan saya dan menghalangi anda.
Nah, itu 'kan berdasarkan dari pembagi post yang tidak ikut vibing dengan Onna no Ko ni Naritai, lalu pertanyaan bagi mereka yang ikut yahud dengan lagunya:
Apa sih, yang dicari?
Baik ironic ataupun unironic, saya kadang bingung sendiri, sebenarnya harapan apa yang kita taruh dari lagu yang terlihat harmless itu? Keinginan besar untuk benar-benar menjadi perempuan? Atau justru ada hal lain yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan berubah menjadi gadis?
Lirik dan penggambaran dalam video musik Onna no Ko ni Naritai menyampaikan keinginan untuk menjadi gadis yang direpresentasikan sebagai tuan putri. Jika diminta untuk menulis tiga hal yang berkaitan dengan gadis kerajaan yang ada di dongeng-dongeng, saya akan merespons dengan:
- gadis belia,
- kehidupan glamor, dan
- kebebasan.
Ketiga hal tersebut membuat saya berpikir, apakah mereka mengimplikasikan menjadi perempuan merupakan simbol untuk terlepas dari beban dan pahit menjadi seorang laki-laki? Atau mereka berpikir bahwa jati diri yang sebenarnya bagi mereka adalah menjadi perempuan? Atau mereka memandang menjadi perempuan merupakan jawaban untuk semua masalah mereka?
Larut dalam pertanyaan, saya sendiri menanyakan hal itu kepada saya, apakah semua itu yang saya cari?
Rupanya, saya menemukan beberapa alasan dari yang remeh seperti iringan lagunya yang catchy dan pilihan diksi pada lirik yang menarik perhatian saya, namun ada satu hal yang menjadi alasan utama saya: terdengar innocent. Kenaifan lagu ini mengingatkan saya bahwa diri saya juga naif di umur saya yang seharusnya bergelut dengan pola pikir kritis pada keseharian saya, atau setidaknya itu bar yang saya set sendiri. Mendengar lagu itu membuat saya merasa nyaman terhadap diri saya yang setiap harinya selalu merasa untuk menjadi dewasa di saat saya kerap kali gagal untuk mencapai sesuatu atau memilih keputusan yang benar untuk kehidupan saya, ditambah saya sudah terlanjur membangun ekspektasi pada diri saya sendiri yang nantinya akan menjadi tulang punggung keluarga saya di kala orang tua saya sudah tidak mampu menjalankan peran tersebut, dan tentu saja di Indonesia laki-laki dianggap menjadi pemegang peran tersebut, apalagi anak pertama.
Tidak hanya sekali saya mendengar kerabat saya yang laki-laki, terutama di kalangan kolega universitas atau tetangga, mengatakan gumaman seperti "ah jadi cewek aja dah" saat menemui masalah yang secara spesifik ditujukan kepada mereka hanya karena mereka laki-laki, atau saat mendengar seorang perempuan yang mudah mendapatkan sesuatu hanya karena mereka adalah perempuan. Hal tersebut wajar muncul di pikiran kita karena kita belum melihat gambaran besarnya secara keseluruhan dalam menjadi diri kita sendiri. Heh, boro-boro bisa menjadi diri sendiri, tidak jarang kita, atau mungkin pada kasus ini: saya, tidak mengenali diri sendiri.
Kesendirian Dalam Kejantanan
I am not a pschyatrist, therapist, teologist, or a historian, I am a male who learns a shit or two, but still take what I said on the following paragraphs with a grain of salt. Also this is where the trigger warning is literally everywhere lol.
Kalau tidak segera diberitahu oleh teman saya yang notabene melek mengenai kesehatan jiwa dan peduli pada saya, saya mungkin tidak akan segera tahu kalau hal-hal terdahulu yang saya alami adalah bentuk gaslighting, pelecehan seksual, dan bentuk-bentuk abuse lainnya karena saya dulu dibuat berpikir hal tersebut adalah lumrah hanya karena saya merupakan laki-laki. Saya terkejut saat tahu kalau saya juga merupakan korban. Hal tersebut membuat saya takut jika perlakuan-perlakuan tersebut membuat saya membentuk kepribadian yang menyakiti orang-orang di sekitar saya; bahkan tidak terpikir sedetikpun kalau rupanya hal itu juga menyakiti saya. Saya juga baru tahu saat itu: male could be harrassed too?
Jijik, saya pikir mengingat apa yang dulu dilakukan oleh teman-teman saya kepada saya. Hina, perlakuan mereka beserta fragile masculinity mereka yang mereka paksakan kepada saya. Saya memutuskan untuk tidak menjabarkan semuanya, namun ada beberapa perlakuan-perlakuan yang saya terima membuat saya seorang laki-laki yang rusak, dan saya masih mencoba memperbaiki kerusakan yang tidak saya buat.
Salah satu yang paling mengganggu saya adalah perilaku "man up" kepada saya. Cowok ga boleh nangis? Terus saya bolehnya ngapain? 'Ngerampok bank pake mobil Ford yang 4x4, gitu, biar kelihatan cowok? Tawuran dan catcalling perempuan SMK sebelah gitu biar keliatan laki? Terus gue ada masalah ga boleh cerita-cerita? Giliran boleh akhirnya malah dibilang "kan lu cowok". Saya kena bacok di kepala, darah nyucur, kena tetanus, terus obatnya ya jadi laki-laki?
Kenapa saya tidak boleh menunjukkan kelemahan hanya karena saya laki-laki?
Meskipun begitu, apakah mereka yang melakukan bentuk-bentuk abuse sepenuhnya salah?
Tentu saja salah, namun saya rasa ada alasan mereka bisa melakukan itu terhadap para laki-laki. Saya yakin setiap orang yang mengalami hal tersebut, baik disengaja atau tidak, pernah melakukan hal tersebut kepada orang lain. Jika dilihat gambaran besarnya, bukankah hal itu terjadi di semua bentuk abuse? tidak hanya masalah stereotip laki-laki ini? Lingkaran setan abusive ini harus segera berakhir. Namun saya sering merasa kehilangan tenaga ketika bertanya pada saya sendiri "lalu, apa yang mau kamu lakukan mengenai itu?". Saya bingung. Saya tidak tahu caranya. Saya bahkan tidak tahu cara memperbaiki diri saya sendiri. Saya tidak mengenali diri saya sendiri.
tuh kan, jadi curhat, emang ada yang mau denger?
uh oh, saya tertangkap basah nge-'man up' diri saya sendiri.
"Mending jadi perempuan."
Pernyataan mendang-mending tersebut sering mengusik perasaan saya, meskipun saya melihat alasan mengapa saya mendengar itu terlontar dari mulut sahabat saya yang laki-laki. Saya sendiri sering mengatakan kepada saya sendiri kalau saya tidak suka terhadap saya yang pernah mengucapkannya juga. Seakan-akan mendiskreditkan segala perjuangan yang dialami oleh para perempuan.
Pada hakikatnya, laki-laki dan perempuan, atau yang memutuskan untuk tidak menjadi keduanya, adalah sama-sama manusia dan bisa mengalami hal yang sama. Butuh perjalanan panjang dari era ke era untuk sampai ke titik di mana kita sekarang yang berusaha menghargai eksistensi satu sama lain. Ditambah lagi, para perempuan harus menempuh jalur yang relatif lebih sulit daripada yang harus dilalui oleh laki-laki, bahkan sampai hari ini.
Apa yang membuat kita berpikir jika semua hal akan tiba-tiba menjadi lebih baik saat kita berubah menjadi perempuan atas dasar hal-hal yang kita alami sebagai laki-laki? Pada akhirnya, masalah baru akan selesai ketika kita cari solusinya apapun gender kita. Setiap gender memiliki masalahnya sendiri juga. Asumsikan secara genetik dan morfologis kita berubah menjadi perempuan sepenuhnya melalui proses instan, apakah kita siap dengan masalah harian seperti menstruasi? Kalau ingin jadi cantik sebgai peremupan, ya tidak instan juga, sama halnya dengan jadi ganteng saat menjadi laki-laki, butuh proses dan effort, ditambah lagi kalau kondisi genetik kita tidak mengikuti standar cantik atau ganteng yang ditaruh oleh masyarakat, yang tentunya tidak wajib kita ambil sebagai standar. Bilangin ke CEO stereotipe, yang wajib itu menghargai diri sendiri.
Tiba-tiba berubah menjadi gadis bukan berarti semuanya terkontrol. Saya ketawa juga, sih, waktu melihat tangkapan layar komentar di post Facebook mengenai meme lowongan jadi pacar yang lengkap dengan manfaat dan syaratnya. Muncul kandidat sesuai syarat dan sang perempuan menambahkan syarat baru: "Tapi maunya ganteng". Terlepas apakah itu meme atau sekedar komentar yang sifatnya lucu-lucuan saja (dan mungkin secara tidak sengaja akan mempermanenkan stigma perempuan yang tidak inklusif terhadap cowok yang tidak ganteng), bukankah itu membuktikan bahwa kita tetap bisa lepas kontrol terlepas dari gender kita?
Saya laki-laki, dan saya tidak tahu apa yang harus dilalui oleh para perempuan untuk menjadi dirinya, dan mungkin begitu juga dengan anda. Saya juga bukan anda, pengalaman kita sebagai laki-laki juga bisa berbeda-beda, namun bukankah ada satu hal yang yang sama-sama bisa kita lakukan? Yakni menghormati satu sama lain?
Yah, lagipula, ini kan cuma celoteh saya, percakapan saya dengan diri saya, dan terlebih sebagai pengingat untuk saya secara pribadi. Saya juga tidak akan berpikir lebih dalam lagi, saya kan bukan Plato. Ya kalian main Genshin juga mau sebagai Aether atau Lumine, ujung-ujungnya pengen memperistri Hu Tao juga, kan? (Atau Ganyu, atau Zhongli, gatau lah waifu/husbando kalian). Ah, bold that I started to assume, kalian bebas kok mau ngapain di Genshin.
inb4 post ini di-screenshot terus di-share di grup Komunitas Orang.
Antitesis
Kita hidup di dalam masyarakat yang menjadikan meme sebagai salah satu sumber entertainment-nya, dan meme antitesis menjadi salah satunya. Salah satu yang cukup untuk membuat saya tertawa keras adalah "Besok Senin? Gue sih panik.", karena itu merupakan antitesis dari variasi "Gue sih santai", yang juga merupakan parodi dari pernyataan umum bahwa pergantian ke hari Senin selalu menjadi pergantian hari yang tidak nyaman.
Seri gim Yakuza adalah seri gim favorit saya yang belum pernah saya mainkan, meski saya doyan menonton video gameplay-nya. Yakuza sendiri terlihat seperti gim yang berdasar kepada kehidupan Yakuza, meski saya menolak untuk mengatakan bahwa gim tersebut merupakan depiction yang tepat mengenai yakuza dan melainkan merupakan parodinya. Siapa juga yang akan terinspirasi melihat perempuan obesitas tenggelam di kali? Terlepas dari itu, Di dalam gim ini terdapat mini rythm game karaoke, dan salah satu lagu yang bisa kita nyanyikan adalah 24-hour cinderella. Meskipun dalam lirik lagu itu kurang lebih kita memposisikan diri kita sebagai pangeran yang menggombal dengan sang tuan putri, yang notabene posisi yang diisi laki-laki, saya menyukai lagunya itu sendiri karena dibawa secara ekspresif. Agak sulit bagi saya untuk menjadi ekspresif, karena saya sendiri sering dikomentari secara negatif seperti "ih cowok kok gitu hih" oleh teman-teman saya dulu ketika mencoba menjadi ekspresif. Terlepas apakah alasannya karena saya tidak menunjukkan imej sebagai laki-laki atau karena yang saya lakukan itu terlihat cringe, saya akhirnya menutup diri saya dari menjadi ekspresif karena itu. Dan lagu ini, kembali mengingatkan saya kalau saya tetap bisa menjadi ekspresif.
Sosok gigachad yang selama ini kita gandrungi merupakan simbol panutan tunggal bagi kita yang menjadikannya sebagai coping mechanism, baik secara ironis ataupun tidak. Ia menjadi simbol validasi bagi kita yang telah menjalankan kehidupan kita semampu, sebaik mungkin, namun mungkin gagal di saat menjalankannya, tetapi tetap mempercayai nilai yang kita perjuangkan adalah hal yang benar. Meme virgin yang berkonsultasi dengan tiga chad berotot besar nan tampan merupakan favorit saya, mengilustrasikan harapan saya bahwa menjadi laki-laki tidak harus menurut dengan stereotip; laki-laki tidak harus agresif, tidak harus selalu kuat, selalu berhasil, atau capaian-capaian utopis lainnya.
Sayang, tipe laki-laki baru sudah muncul! Dengan keberadaan istilah alpha & beta male yang mengikuti bagaimana para serigala dalam pack-nya berperan (dan agak misleading juga karena yang di serigala itu cuma beda posisi depan-belakang dalam barisan, bukan atas-bawah dalam strata), muncul juga istilah yang dibuat-buat, yakni sigma male, direpresentasikan sebagai sosok laki-laki yang based. Tentu saja hal ini sangat konyol dan akhirnya malah dijadikan representasi dari semua ekspektasi konyol terhadap laki-laki. "Sigma rule #3424235: Terus bikin tipe laki-laki baru dan tidak mengizinkan internet untuk bikin meme tentang itu."
Saya rasa di mana ada aksi, akan selalu ada reaksi yang berlawanan. Belakangan mulai banyak yang berbicara mengenai maskulinitas dengan masalahnya yang telah cemented di dalam masyarakat (mohon jangan pergi dulu ini terakhir kalinya saya membuat guyonan we live in society saya janji). Sangat besar sampai-sampai ada meme yang memparodikannya, "Terima kasih sudah sepick-up", meski saya tidak tahu apakah ini relevan dengan fenomena kita yang makin terbuka bagi orang lain ini.
Kesimpulan
Saya sudah berpikir macam-macam saat menulis ini.
"Apakah orang akan segera membagikan post ini dan membawa nama feminis ketika menyebut nama saya?"
"Apakah perspektif pribadi yang saya bawa akan dianggap perspektif umum dan menganggap saya belum mengambil dari semua perspektif?"
"Akankah orang membaca secara penuh setelah mendapatkan informasi yang diambil di luar konteks di platform lain?"
"Apakah saya akan di-cancel karena saya mendukung/tidak mendukung nilai-nilai tertentu?"
"Apakah orang akan segera memanggil saya kurang laki-laki karena cengeng, yang justru saya bahas di sini?"
Yah, entahlah, orang akan punya pertanyaan dan pikiran mereka masing-masing. Entahlah juga saya ingin mendengar masukan dari orang lain atau tidak, karena justru yang saya butuhkan sekarang adalah seseorang mendengarkan keluaran dari saya, sudah cukup saya menerima masukan tanpa keluar sama sekali. Tidak ada orang yang pernah mendengar apapun yang saya katakan di dalam post ini sebelum ini, karena saya belum pernah mengutarakannya sama sekali.
Tidak saya sangka memikirkan video yang trending di kalangan wibu akan membawa saya, dan mungkin anda, ke seluk beluk pikiran saya yang lain. Onna no Ko ni Naritai merupakan manifestasi dari keinginan saya untuk didengar, sebagaimana lagu itu dirilis untuk didengar audiensnya.
Maskulinitas mungkin merupakan hal yang bagus untuk dimiliki pria, entah apa arti dari maskulinitas. Tapi ketika maskulinitas tersebut membunuh seseorang secara figuratif maupun tidak, apakah hal tersebut pantas untuk digenggam sebagai prinsip untuk hidup? Bukankah lebih baik kita mencari identitas kita yang sebenarnya dan kemudian hidup sebagai diri sendiri dan bukan yang dikatakan oleh orang lain? Menerimanya sebagai saran silahkan saja, namun merupakan sepenuhnya hak kita untuk memilih untuk melaksanakannya atau tidak, tergantung mana yang baik untuk kita atau tidak. Hehe, mudah untuk mengatakan, namun yang jelas untuk sekarang, kita bersama-sama di sini melaluinya. Puitis, tapi yagitu, support your homies, selama kita masih bisa, kita bantu teman-teman sekitar kita untuk lanjut jalan. Dan tidak hanya kepada laki-laki saja, literally to anyone you loved and cared.
Perasaan saya selama ini yang tertahan akhirnya keluar. Dendam, sedih, kesal, perih, dan marah. Dengan ini, saya mengutarakannya. Setelah ini saya tidak tahu ke mana arah saya akan berjalan, sampai detik ini saya masih jalan tanpa arah yang jelas dengan problem saya sebagai laki-laki, dan problem saya sebagai manusia. Teman-teman saya sudah sukses dan saya berada di ujung drop-out. Tidak tahu lah, saya tidak akan membuat harapan baru terhadap hidup saya.
Hadeh kebanyakan mikir. This is what zero ears does to a mf.
Jika post ini ditulis pendek, ternyata saya mencari validasi perasaan saya sebagai laki-laki.
Aku ingin menjadi gadis? more like Aku ingin menjadi diriku. Oh tapi gapapa juga sih jadi penyiar maya handal dengan rupa gadis anime gepeng dua dimensi.
Terimakasih sudah mendengarkan saya.